Kamis, 26 Juli 2012

Makruh.

Makruh, banyak sekali yang meremehkannya. Dengan berbagai alasan. Ada yang berkata “hukumnya kan baru makruh. Bukan haram.” Masyarakat sekarang lebih mudah menggampangkan suatu hukum. Sebelum membahas lebih jauh lagi tentang makruh. Dasarnya perlu kita ketahui terlebih dahulu. Makruh termasuk dalam hukum taklify.

Hukum Taklify (pembebanan syariat) terbagi menjadi lima :

.
  1. Wajib,
  2. Mandub/Sunnah/Nafilah,
  3. Haram,
  4. Makruh, dan
  5. Mubah.

  1. Wajib
    Wajib adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas dalam dunia Islam. Aktivitas yang berstatus hukum wajib harus dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat-syarat wajibnya. Aktivitas ini bila dilaksanakan maka pelaku akan diberikan ganjaran kebaikan(pahala), sedang bila ditinggalkan maka akan menjadikan yang meninggalkannya berdosa.
  2. Sunnah
    Sunnah(perjalanan nabi), (syariat) sebuah aktivitas dalam Islam yang dianjurkan sehingga pelakunya mendapatkan kebaikan (pahala)
    • Salat Sunnat seperti salat dhuha, salat tahajjud dll
    •  Puasa Sunnat seperti puasa senin-kamis, puasa daud, puasa syawal dll
  3. Haram
    Haram adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas atau keadaan suatu benda (misalnya makanan). Aktivitas yang berstatus hukum haram atau makanan yang dianggap haram adalah dilarang secara keras. Orang yang melakukan tindakan haram atau makan binatang haram ini akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa.
  4. Makruh
    • Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai
    • Menurut istilah syara’, makruh berarti: “Pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa akan disiksa apabila mengerjakannya.”
      1. Bagian paling  rendah dalam rangkaian perkara-perkara yang dilarang adalah perkara makruh; yaitu makruh tanzihi Sebagaimana diketahui, makruh ini ada dua ma
      • Makruh tahrimi ialah perkara makruh yang lebih dekat kepada haram; cam(tahrimi dan tanzihi);
      • Makruh tanzihi ialah yang lebih dekat kepada halal.
  5. Mubah
    Mubah
    artinya boleh, ya'ni adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas dalam dunia Islam. Aktivitas yang berstatus hukum Mubah boleh untuk dilakukan, bahkan lebih condong kepada dianjurkan (bersifat perintah), namun tidak ada janji berupa konsekuensi berupa pahala terhadapnya.
    Dengan kata lain, Mubah ya'ni apabila dikerjakan tidak berpahala dan tidak berdosa, jika ditinggalkanpun tidak berdosa dan tidak berpahala. Hukum ini cenderung diterapkan pada perkara yang lebih bersifat keduniaan.


Makruh adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas dalam dunia Islam. Aktivitas yang berstatus hukum makruh dilarang namun tidak terdapat konsekuensi bila melakukannya. Atau dengan kata lain perbuatan makruh dapat diartikan sebagai perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan.
 Makruh juga bisa berarti haram. Ini merupakan sikap kehati-hatian para ulama. Ini dikarenakan Allah berfirman, yang artinya :
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” ( QS An Nahl : 116 )


 Ada beberapa hal yang makruh bagi orang yang berpuasa. Hal-hal tersebut tidaklah membatalkan ibadah puasa. Namun tentu saja bisa merusak ibadah puasa yang sedang dijalaninya. Hal-hal yang harus dijauhi tersebut antara lain;
1.Berlebih-lebihan dalam berkumur, atau menghirup air ketika berwuduk. Sekalipun hal ini adalah sunnah dalam berwudhu', namun sesuatu yang berlebihan haruslah dihindari. Hal ini  dikhawatirkan jika terlanjur ke kerongkongan, sehingga puasa menjadi batal.
 Secara logika jika seseorang berkumur atau menyikat gigi pasti air yang bercampur dengan air liur ikut tertelan. Dan secara logika pula puasanya batal. Namun tidak demikian dengan hukum syar'i puasa, berkumur atau menyikat gigi diperbolehkan ketika berpuasa dan tidak membatalkan puasa. Batal atau tidaknya seseorang berpuasa tidak semata-mata karena logika tetapi harus berdasar dengan hadist-hadist nabi. Kata Ustad Sarwat Lc begini dasar hukumnya :

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Mungkin saja sebagian kecil dari air yg dikumur-kumurkan itu tercampur dgn ludah, lalu ketika seseorang menelan ludah, air itu terminum. Namun apakah dgn demikian, puasa jdi batal? Mungkin secara logika boleh saja kita berpendapat demikian, namun sebelum kita bicara dgn logika, tdk ada salahnya buat kita utk merujuk kpd fatwa & petunjuk nabi Muhammad SAW. Kita perlu mendapat keterangan pasti, benarkah menurut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kumur itu membatalkan puasa?


Kalau kita teliti hadits-hadits nabi, kita akan menemukan beberapa riwayat yg justru membolehkan seseorang berkumur, asalkan tdk berlebihan sehingga benar-benar ada yg masuk ke dalam rongga tubuh.


Riwayatkan bahwa Raslullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّاب  قَالَ: هَشَشْتُ يَوماً فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ  فَقُلْتُ: صَنَعْتُ اليَومَ أَمْراً عَظِيماً فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِم؟ قُلْتُ: لاَ بَأْسَ بِذَلِك، فَقَالَ رَسُولُ الله  َفِيْمَ


Dari Umar bin Al-Khatab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari aku beristirahat & mencium isteriku sedangkan aku berpuasa. Lalu aku datangi nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam & bertanya, “Aku telah melakukan sesuatu yg fatal hari ini. Aku telah mencium dalam keadaan berpuasa.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah kamu tahu hukumnya bila kamu berkumur dalam keadaan berpuasa?” Aku menjawab, “Tidak membatalkan puasa.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Maka mencium itu pun tdk membatalkan puasa.” (HR Ahmad & Abu Daud)


Selain itu juga ada hadits lain yg juga seringkali ditetapkan oleh para ulama sbg dalil kebolehan berkumur pd saat berpuasa.


وَعَنْ لَقِيطِ بْنُ صَبْرَةَ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  أَسْبِغْ اَلْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اَلأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي اَلاسْتِنْشَاقِ, إِلا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا- أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة


Dari Laqith bin Shabrah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah wudhu’, & basahi sela jari-jari, perbanyaklah dalam istinsyak (memasukkan air ke hidung), kecuali bila sedang berpuasa.” (HR Arba’ah & Ibnu Khuzaemah menshahihkannya).


Meski hadits ini tentang istinsyaq (memasukkan air ke hidung), namun para ulama menyamakan hukumnya dgn berkumur. Intinya, yg dilarang hanya apabila dilakukan dgn berlebihan, sehingga dikhawatirkan akan terminum. Sedangkan bila ber-istinsyaq atau berkumur biasa saja sebagaimana umumnya, maka hukumnya tdk akan membatalkan puasa.


Maka dgn adanya 2 dalil ini, logika kita utk mengatakan bahwa berkumur itu membatalkan puasa menjadi gugur dgn sendirinya. Sebab yg menetapkan batal atau tidaknya puasa bukan semata-mata logika kita saja, melainkan logika pun tetap harus mengacu kpd dalil-dalil syar’i yg ada. Bila tdk ada dalil yg secara sharih & shaih, barulah analogi atau qiyas yg berdasarkan logika bisa dimainkan.

Bahkan beberapa hadits lain membolehkan hal yg lbh parah dari sekedar berkumur, yaitu kebolehan seorang yg berpuasa utk mencicipi masakan.


Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu “Tidak mengapa seorang yg berpuasa utk mencicipi cuka atau masakan lain, selama tdk masuk ke kerongkongan.” (HR Bukhari secara muallaq dgn sanad yg hasan 3/47)


Menggosok Gigi Dengan Pasta Gigi

 Tidak merusak puasa bila seseorang bersiwak atau menggosok gigi. Meski tanpa pasta gigi, tetap saja zat-zat yg ada di dalam batang kayu siwak itu bercampur dgn air liur yg tentunya secara logika termasuk ke dalam kategori makan & minum.
Namun karena ada hadits yg secara tegas menyatakan ketidak-batalannya, maka tentu saja kita ikuti apa yg dikatakan hadits tersebut.


Dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memandang tdk mengapa seorang yg puasa bersiwak. (HR Abu Syaibah dgn sanad yg shahih 3/35)

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
 
2.Mencium istri, kecuali bagi orang yang mampu menahan diri karena kadang-kadang ciuman itu membangkitkan syahwat yang mendorong kepada batalnya puasa dengan keluarnya madzi. Atau bahkan melakukan jima'. Jika sudah sampai demikian, tidak hanya membatalkan puasa tapi juga resikonya wajib mem­bayar kifarah.
3. Tidak hanya mencium istri, bahkan memandang istri dengan syahwat juga dimakruhkan. Pandangan yang dapat mendorong atau menimbulkan pikiran untuk melakukan hubungan seks. Sama halnya dengan ini ialah: membaca buku-buku cabul, atau melihat gambar-gambar porno.
4.Berbekam atau donor darah. Hal tersebut dikhatirkan dapat melemahkan badan sehingga tidak dapat melanjutkan puasa.
5.Meraba, atau merangkul istri yang dapat menimbul­kan syahwat. Dan hal-hal lain yang dapat mengundang syahwat. Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, namun sejatinya ibadah puasa menahan diri dari hawa nafsu. Wallahu'alam.
  a . Berlebih-lebihan dalam melakukan hal-hal mubah, misalnya membaumakanan.
 b. Mencoba rasa makanan dengan mengunyahnya.
 c. Berlama-lama di kamar mandi, misalnya bermain-main di kamar mandi.
 d. Mendengarkan lagu-lagu, melihat gambar-gambar, menciumi harumharuman.
 e. Melakukan siwak (sikat gigi) di siang hari setelah zuhur hingga maghrib.


Perbuatan makruh dapat mengakibatkan turunnya nilai ibadah puasa kita. Maka dari itu kita harus menjauhi perbuatan makruh ini.